Sunday, May 27, 2012

INI AKU... UTUSLAH DIA

“Ini aku, utus aku!
Kudengar Engkau memanggilku.
Utus aku; tuntun aku;
‘Ku prihatin akan umatMu.”
            Rekan muda sekalian pasti sudah tidak asing lagi dengan lagu ini. Sungguh terlalu (kalo katanya bang Rhoma) kalau sebagai warga GKI tidak tahu lagu ini. (hehehe.. J ) Yapp, inilah salah satu karya dari Daniel Schutte (1991) yang tercantum dalam Pelengkap Kidung Jemaat nomor 177. Lagu ini sering ini dipakai dalam liturgi, khususnya di bagian Pengutusan. Lalu, apakah ini hanya sekedar lagu pengutusan? Apakah pengutusan dalam setiap ibadah tersebut benar-benar telah mengutus kita?
            Sebelumnya, mungkin dari rekan muda sekalian merasa ganjil dengan judul dari tulisan ini. Ya, judul ini sengaja dipilih untuk sekedar menggelitik kita soal pengutusan atau bisa dibilang pelayanan kita di kehidupan ini. Namun, jika mau kita cermati, bukankah kita sering seperti itu? Kalimat “Ini aku, utuslah dia” juga sering dijadikan lelucon yang sebenarnya ingin mengatakan, “Jangan gue..”, “Gue kan udah melayani di gereja, ngapain melayani di luar gereja, “Gue lagi banyak tugas nih, gak sempet ikut baksos gereja”, “Nanti ya, kalo gue ada waktu gue mungkin akan ikut pelawatan ke rumahnya”, dsb.
Sebagai pemuda dan remaja, kita pasti sudah tidak asing dengan pelayanan, khususnya di gereja. Ada yang melayani sebagai pemusik, pemandu pujian, lektor, pengurus komisi pemuda/remaja, dsb. Bahkan berkat potensi dan talenta yang Tuhan berikan, kita bisa melayani di lebih dari satu bidang pelayanan. Bisa dibilang juga, “kalo gak pelayanan di gereja, kayak ada yang kurang sob.” Semangat pelayanan tersebut sungguh luar biasa besar. Namun, apakah semangat pelayanan tesebut hanya ada dalam pelayanan di gereja? Bagaimana dengan pelayanan di luar gereja? Berikut ini ada sebuah kisah nyata yang dialami oleh dr. Howard Kelly, seorang yang dulunya adalah anak orang miskin yang kemudian bisa menjadi dokter.

Adalah anak lelaki miskin yang kelaparan dan tak punya uang. Dia nekad mengetuk pintu sebuah rumah untuk minta makanan. Namun keberaniannya lenyap saat pintu dibuka oleh seorg gadis muda. Dia urung minta makanan, dan hanya minta segelas air.
Tapi sang gadis tahu, anak ini pasti lapar. Maka, ia membawakan segelas besar susu. “Berapa harga segelas susu ini?” tanya anak lelaki itu.
“Ibu mengajarkan kepada saya, jangan minta bayaran atas perbuatan baik kami,” jawab si gadis.
“Aku berterima kasih dari hati yang paling dalam… ” balas anak lelaki setelah menenggak habis susu tersebut.
Belasan tahun berlalu…
Gadis itu tumbuh menjadi wanita dewasa, tapi didiagnosa punya sakit kronis. Dokter di kota kecilnya angkat tangan. Gadis malang itu pun dibawa ke kota besar, di mana terdapat dokter spesialis.
Dokter Howard Kelly dipanggil untuk memeriksa. Saat mendengar nama kota asal wanita itu, terbersit pancaran aneh di mata sang dokter.
Bergegas ia turun dari kantornya menuju kamar wanita tersebut. Dia langsung mengenali wanita itu.
Setelah melalui perjuangan panjang, akhirnya wanita itu berhasil disembuhkan. Wanita itu  pun menerima amplop tagihan Rumah Sakit. Wajahnya pucat ketakutan, karena dia tak akan mampu bayar, meski dicicil seumur hidup sekalipun. Dengan tangan gemetar, ia membuka amplop itu, dan menemukan catatan di pojok atas tagihan…
“Telah dibayar lunas dengan segelas susu …” Tertanda, dr. Howard Kelly.
(dr. Howard Kelly adalah anak kelaparan yang pernah ditolong wanita tersebut. Cerita disadur dr buku pengalaman dr. Howard dalam perjalanannya melalui Northern Pennsylvania, AS)

            Sungguh indah bukan pengalaman yang dialami oleh dr. Howard Kelly dan wanita tersebut? Wanita itu tidak menyangka akan bertemu lagi dengan seseorang yang dulunya dia tolong dengan memberikan susu. Dan tidak disangka juga orang yang dia tolong itu akan membantu dia ditengah sakit yang dideritanya.
            Nah rekan muda, bagaimana kalau waktu itu si wanita tidak menolong anak kecil itu? Bagaimana kalau dia tidak mengindahkan anak itu dan menutup kembali pintu rumahnya dan masuk begitu saja kerumahnya tanpa menolong anak itu? Mungkin saja anak itu bisa meninggal karena kelaparan. Bisa juga dia memutuskan untuk mencuri di toko makanan dan bisa dipukuli oleh massa ketika tertangkap. Dan segala cara lainnya bisa dia lakukan untuk memenuhi kebutuhan akan makanannya.
            Mari kita mengandaikan anak kecil itu sebagai orang-orang diluar sana, diluar lingkungan gereja. Mereka kekurangan, mereka membutuhkan bantuan orang lain, dan mereka hidup dengan apa yang ada pada mereka, bukan apa yang bisa mereka beli atau gesek dengan kartu kredit. Dan si wanita dengan rumahnya anggaplah sebagai kita yang ada di dalam gereja. Dari cerita diatas, kita sebagai warga gereja sudah ikut membantu orang-orang yang ada di luar gereja dengan latar belakang yang berbeda dari kita. Namun rekan muda, bisa kita bayangkan apa yang akan terjadi bila kita tidak membuka pintu rumah tersebut?
            Begitulah dengan pelayanan kita. Ketika kita hanya berfokus pada pelayanan di dalam gereja saja, maka sama saja kita menjadi terang di antara terang. Padahal seharusnya kita menjadi terang di tengah kegelapan. Mari kita lihat pada kisah Maria dan Marta. Berikut kutipan dari salah satu ayatnya.
Lukas 10:40 “sedang Marta sibuk sekali melayani. Ia mendekati Yesus dan berkata: "Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku."

Dari cerita diatas, Yudhi Gejali mengemukakan beberapa poin yang dapat kita ambil dan kita pelajari dalam melayani Dia:
1.          Pelayanan adalah komitmen pribadi
Maksudnya pribadi adalah kita yang memilih untuk pelayanan, jangan melayani karena dipaksa; entah itu dipaksa pembina rohani, ataupun karena gak enak sama temen karena sudah diajak berulang kali. Karena pelayanan adalah komitmen pribadi, jangan bersungut-sungut, jangan berkata “Tuhan, ko gue lg sih yg angkat-angkat kursi, pembina gw malah enak-enak cumen salam sana sini ketawa-ketawa.” Pelayanan adalah pribadi, kita yang memilih dan mengambil keputusan untuk melayaniNya.We choose to serve Him, no one force us to do it.
2.         Duduklah yang cukup dibawah kakiNya
        Sebelum kita bisa melayani Dia, biarlah Dia melayani kita lebih dahulu. Seperti Maria yang duduk dikaki Tuhan, dia dilayani Tuhan terlebih dahulu. Bagaimana mungkin kita bisa melayaniNya tanpa dilayani terlebih dahulu? Ibarat bejana, kalau bejana itu kosong, dan pemiliknya tidak menuangkan air terlebih dahulu kebejana tersebut, bejana tersebut tidak akan dapat berfungsi dan melayani pemiliknya. In Order to walk well, we should learn to sit well.
3.          Senyummu tidak akan menyakiti siapapun
        Kita tidak akan pernah tahu kondisi masing-masing pribadi yang datang ke gereja. Mungkin ada yang semalam habis bertengkar dengan suami/istrinya. Mungkin juga ada yang bisnis atau usahanya sedang mengalami kendala. Mungkin juga ada anak remaja yang gayanya nyeleneh karena orang tuanya ribut terus dirumah. Kita tidak akan pernah tau apa yang sedang mereka alami, oleh karena itu tetaplah tersenyum. Segalak, sejutek, sekasar apapun mereka tetaplah berikan senyuman yang manis dan pelayanan yang baik untuk mereka. Kita tidak akan pernah tau betapa senyuman kita membantu mengangkat mood mereka. At the end, our smile is not harmful to them.

Selamat duduk dikakiNya, melayaniNya saat kita sudah dilayaniNya, dan memberikan yang terbaik dalam pelayanan. Biarlah kita menjadi kitab yang terbaca bagi orang lain, tidak hanya bagi orang yang ada dalam gereja saja melainkan juga untuk saudara-saudara kita diluar sana.  Biarlah kita bisa berkata Tuhan ini aku, utuslah aku.

Referensi:

No comments:

Post a Comment