Thursday, December 27, 2012

Pemberitaan Media dapat Mempengaruhi Timbulnya Stereotip di Kalangan Masyarakat


Di era globalisasi ini, ilmu dan pengetahuan telah berkembang dengan pesat. Salah satu hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan adalah media massa. Media massa, baik yang cetak maupun elektronik, telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, khususnya sebagai sumber informasi. Dalam perkembangannya tersebut, media massa juga bersinggungan dengan isu-isu dalam masyarakat, salah satunya adalah stereotip.
            Stereotip adalah kerangka kognitif yang berisi pengetahuan dan belief tentang kelompok sosial tertentu dan dilihat sebagai tipikal yang dimiliki oleh anggota kelompok tersebut (Prawasti, 2009).  Nelson (2002) juga mengemukakan bahwa stereotip adalah  kepercayaan seseorang bahwa karakteristik tertentu diasosiasikan dengan kelompok tertentu.
Dari usia dini, anak-anak telah dihadapkan dengan stereotip. Ketika para orang tua menginternalisasi anak-anaknya dengan nilai dan norma masyarakat, anak-anak juga menaruh perhatian kepada pesan yang tersirat dan tersurat mengenai hubungan antar kelompok yang mereka dapat dari film, televisi, majalah, video games, dan jenis media lainnya (Nelson, 2002).
            Berangkat dari hal ini, saya berargumen bahwa media dapat menyebabkan timbulnya stereotip mengenai suatu kelompok sosial tertentu. Untuk mendukung argumen saya, saya memfokuskan bahasan saya dalam dua poin, yaitu mengenai pengaruh media dan stereotip. Selain itu, dalam tulisan ini juga akan disertakan bukti-bukti penelitian dan hasil dari studi literatur yang saya lakukan. Namun karena satu keterbatasan, ada satu poin penting yang tidak dapat saya jelaskan, yaitu bagaimana stereotip tersebut mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku terhadap kelompok sosial tertentu.
            Berbicara mengenai stereotip tentunya tidak lepas dari kategorisasi sosial. Menurut Prawasti (2009), dalam kategorisasi sosial, orang melihat orang lain sebagai bagian dari kelompoknya (maka akan disebut sebagai ingroup-nya) atau sebagai anggota dari kelompok lain (akan disebut sebagai outgroup-nya). Beliau juga menambahkan bahwa pembedaan in-group dan out-group juga berpengaruh dalam atribusi, yaitu pada bagaimana mereka menjelaskan perilaku pada dua kelompok yang berbeda ini. Menurut saya, kategorisasi sosial ini menjadi dasar dalam stereotip dimana sudah terbentuk pembeda dalam masyarakat dengan karakteristiknya masing-masing.
            Media massa, termasuk didalamnya film, komik, televisi, dan iklan dipenuhi dengan stereotip (Whitley & Kitte, 2010). Stereotip tersebut bisa mengarah pada kelompok agama atau bangsa tertentu. Penelitian yang dilakukan oleh Shaheen (2003, dalam Whitley & Kitte, 2010)  terhadap lebih dari 900 film Hollywood menemukan bahwa orang Arab secara konstan digambarkan sebagai orang yang tidak punya hati, brutal, tidak beradab, dan fanatik terhadap agama. Film-film tersebut juga menyampaikan pesan yang tidak tepat bahwa semua orang Arab adalah orang Muslim dan semua orang Muslim adalah  orang Arab.
Stereotip yang muncul bisa juga mengarah kepada segi gender. Kim dan Lowry (2005) mengadakan penelitian untuk menganalisa representasi peran dari suatu gender    dalam iklan televisi Korea. Penelitian ini dilakukan dengan metode content analysis dan mengambil sampel 878 iklan televisi Korea di MBC Network yang ditayangkan pada tahun 2001. Mereka menemukan 3 poin penting dalam penelitian ini. Pertama, bahwa perempuan yang bermain dalam iklan tersebut masih muda dan belum menikah. Jika mereka sudah menikah, maka akan mendapat peran mengerjakan pekerjaan rumah tangga sedangkan bagi pria akan mendapatkan peran yang berkaitan dengan bisnis. Kedua, model pria lebih diberikan peran untuk mempersuasi penonton agar membeli produk yang diiklankan. Sebaliknya, perempuan ditempatkan di belakang model utama pria ketika sedang mempersuasi penonton. Ketiga, model perempuan memang didapati lebih sering muncul daripada model pria. Namun, ketika harus mengajak penonton untuk membeli produk dengan kekuasaan yang dia punya, model pria akan lebih diutamakan muncul. Dari sini terlihat jelas bahwa iklan mengdiskreditkan peran dari wanita dan menimbulkan stereotip bahwa laki-laki lebih kompeten daripada perempuan.
Lalu, ada juga penelitian yang dilakukan oleh Al-Shehab (2008). Beliau melakukan content analysis di  program televisi yang dibuat untuk anak-anak dan juga program televisi yang melibatkan anak-anak di dua saluran televisi, yaitu saluran televisi Kuwait dan saluran satelit televisi Mesir. Tujuannya adalah untuk menentukan efek dari program tersebut terhadap gender, representasi, dan stereotip. Salah satu penemuan dalam penelitian ini adalah saluran televisi Kuwait lebih menampilkan karakter pria. yang tidak berkulit putih, dan bukan orang Arab. Sedangkan saluran televisi Mesir lebih banyak menampilkan perempuan, orang kulit putih, dan orang Arab. Rasio antara orang kulit putih dan non-kulit putih serta antara orang Arab dan non-Arab di kedua saluran televisi tersebut menggambarkan bahwa saluran televisi Mesir lebih menyajikan model stereotip dan tradisional (Al-Shehab, 2008)
Representasi orang-orang dalam media massa telah bersifat negatif (Taylor & Stern, 1997 dalam Kim & Lorwy, 2005). Iklan yang ditayangkan di televisi juga menggambarkan stereotip mengenai kelompok sosial tertentu,  salah satunya antara masyarakat kulit putih dan kulit hitam serta ras. Orang kulit putih ditampilkan lebih sering daripada kelompok etnik lainnya dan mereka juga digambarkan secara lebih menonjol (Whitley & Kitte, 2010). Coltrane & Mesineo (2000, dalam Whitley & Kitte, 2010) juga menemukan dalam penelitiannya bahwa orang kulit putih lebih banyak mendapatkan peran orang tua atau suami-istri dalam iklan, dimana orang Asia-Amerika  lebih banyak ditunjukkan perannya sebagai anak-anak. Lalu, laki-laki Afrika- Amerika lebih digambarkan dengan peran agresif daripada orang kulit putih. Sebaliknya, orang Latin lebih tidak terlihat dalam iklan. Disini saya melihat bagaimana presentasi suatu ras yang tidak berimbang dalam iklan di televisi. Semakin sedikit kemunculan suatu kelompok di media, maka semakin besar kemungkinan hal tersebut dikarenakan stereotip (Giles, 2003).
            Sayangnya, memang kita tidak bisa mengeneralisasi pengaruh  media tersebut dari data-data penelitian korelasional yang ada bahwa televisi menyebabkan munculnya stereotip. Hal ini dikarenakan data korelasi tersebut tidak kuat dan konsisten dalam segala kasus (Durkin, 1985b; Gunter & McAleer, 1990 dalam Schneider, 2004). Salah satu contohnya adalah sebuah studi komprehensif mengenai gender (Morgan, 1982 dalam  Schneider, 2004). Selama 3 tahun, dilakukan pengukuran terhadap perilaku menonton TV dan stereotip gender pada anak laki-laki dan perempuan SMP.  Secara umum, untuk anak laki-laki dan perempuan, hubungan antara menonton TV dan stereotip tersebut terbilang sederhana atau rendah  (.34) sehingga melahirkan penjelasan alternatif bahwa sikap (attitude) mempengaruhi perilaku menonton.
            Memang ada juga pendapat bahwa media kurang memiliki efek langsung dalam timbulnya stereotip. Tetapi, efek tidak langsung dari media bisa saja sangat kuat. Karena TV adalah sebuah sarana sosialisasi pasif, dan mungkin memiliki efek paling besar dalam memberi reinforcement daripada menentang kebenaran budaya (Schneider, 2004).
            Walau pendapat diatas ada, tapi nampaknya berkebalikan dengan yang terjadi di lapangan. Baru-baru ini masyarakat dihebohkan dengan pemberitaan miring mengenai kegiatan ekstrakurikuler Kerohanian Islam (Rohis). Stasiun Metro TV mengabarkan berita bahwa ekstrakurikuler Rohis ini menjadi pintu masuk teroris. Dalam tayangan beritanya tentang “Pola Rekrutmen Teroris Muda”, Metro TV menyampaikan lima poin tentang pola perekrutan tersebut, yakni :
  1. Sasarannya siswa SMP Akhir – SMA dari sekolah-sekolah umum
  2. Masuk melalui program ekstrakurikuler di masjid-masjid sekolah
  3. Siswa-siswi yang terlihat tertarik kemudia diajak diskusi di luar sekolah
  4. Dijejali berbagai kondisi sosial yang buruk, penguasa yang korup, keadilan tidak seimbang
  5. Dijejali dengan doktrin bahwa penguasa adalah toghut/kafir/musuh
 Kerohanian Islam adalah organisasi ekstrakurikuler di sekolah yang memfasilitasi siswa untuk mendalami agama Islam dengan berbagai variasi kegiatannya. Mulai dari pengajian umum, mentoring, pelatihan keterampilan, pergelaran seni Islam, membuat berbagai Musabaqah (perlombaan) tentang Al-Qur’an, bimbingan baca tulis Al-Qur’an, kelompok belajar, berkemah sambil bertadabbur alam, mabit (malam bina iman dan taqwa) dengan iktikaf di masjid, kegiatan olahraga dan masih banyak lagiSontak masyarakat Indonesia kaget dengan pemberitaan ini, khususnya para umat Muslim dan juga para alumninya (Syahputra, 2012).
Sontak masyarakat kaget dengan berita ini. Rohis yang identik dengan kegiatan-kegiatannya yang positif dalam mengembangkan moral spiritual siswa, diberitakan sebagai sarang teroris. Pemberitaan ini dapat berpotensi menimbulkan stereotip di masyarakat bahwa ekstrakurikuler Rohis merupakan tempat menghasilkan teroris. Hal ini dapat berpotensi memunculkan stereotip bahwa orang Muslim adalah teroris. Disinilah letak pengaruh media terlihat jelas dapat menimbulkan stereotip kepada kelompok masyarakat tertentu, dalam hal ini orang Muslim.
Kesimpulan dari poin-poin yang telah dijabarkan diatas adalah media memiliki peran yang signifikan dalam menimbulkan stereotip mengenai suatu kelompok masyarakat tertentu. Stereotip ini bisa dipicu dari film, iklan, majalah, video games, dll. Stereotip yang muncul juga mengarah kepada kepada hal-hal sensitif dalam masyarakat, seperti jenis kelamin, ras, warna kulit, golongan agama, dsb. Saya telah memberikan bukti-bukti penelitian, hasil studi literatur, dan contoh nyata yang mendukung argumen saya bahwa stereotip mengenai suatu kelompok masyarakat tertentu bisa ditimbulkan dari pemberitaan media.
Televisi baik dalam menyajikan potongan-potongan realita, tetapi kurang baik dalam menyajikan kompleksitas secara menyeluruh (Schneider, 2004). Dan sayangnya juga, sangat mudah melihat bagaimana bias yang sangat nyata dalam media dapat menghidupkan terus-menerus stereotip terhadap satu kelompok ras tertentu (Nelson, 2002) .


Referensi :

Giles, D. (2003). Media Psychology. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Kim, K. & Lowry, D.T. (2005). Television commercial as a lagging social indicator: gender role stereotype  in korean television advertising. Sex Roles, 53, 901-910.

Nelson, T.D. (2002). The Psychology of Prejudice. Boston : Allyn and Bacon.

Prawasti, C.Y. (2009). Stereotip, prasangka, dan diskriminasi. Dalam Sarwono & Meinarno (Eds.), Psikologi Sosial. (pp. 226-227). Jakarta: Salemba Humanika.

Schneider, D.J. (2004). The Psychology of Stereotyping. New York: The Guilford Press.

Al-Shehab, A.J. (2008). Gender and racial representation in children’s television programming in kuwait: implications for education. Social Behavior and Personality, 36, 49-64.

Syahputra, A.R. (2012, September 15). Rohis dan fitnah busuk metro tv. Diambil dari http://politik.kompasiana.com/2012/09/15/rohis-dan-fitnah-busuk-metro-tv/



Saturday, December 15, 2012

PENDIDIKAN KARAKTER: SEBERAPA PENTING?


                  Manusia memiliki kemampuan untuk melesat jauh ke masa depan (Koesoema, 2007). Salah satu sarana untuk manusia melesat jauh ke masa depan adalah melalui pendidikan. Pendidikan telah menjadi sarana yang efektif dalam mengembangkan kemampuan manusia, mulai dari segi kognitif, afektif, dan psikomotorik. Aspek kognitif telah menjadi fokus utama yang dititikberatkan oleh dunia pendidikan sejak dulu. Lalu, bagaimana dengan karakter manusia sebagai aspek afektif dari manusia? Apakah perlu untuk dikembangkan?
            Sebelum itu, mari kita lihat definisi dari aspek penting yang akan dibahas dalam esai ini, yaitu pendidikan dan karakter. Menurut KBBI, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Sedangkan pengertian karakter menurut Prof. Suyanto, Ph.D dalam artikelnya “Urgensi Pendidikan Karakter” adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat (Suyanto, 2009). Inilah yang menjadi tujuan utama dari pendidikan karakter. Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. 
Secara esensial, pendidikan karakter memiliki 3 aspek di dalamnya, yaitu understanding, caring about, dan acting upon core ethical values (Lickona, 2004). Dalam arti, pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk membantu individu megerti dan memahami, peduli dengan apa yang ada di lingkungan  sekitarnya, dan tetap memperhatikan etika/aturan yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat.
Apa dampak dari pendidikan karakter ini? Sebuah penelitian yang dilakukan Chang & Munoz (2006) telah membuktikan manfaat dari pendidikan karakter melalui Project CARE (Character Actualization Requires Education). Proyek ini merupakan implementasi dari pendidikan karakter yang dikembangkan di Amerika, yaitu Child Development Project (CDP). Penelitian ini mengambil subjek 390 guru dan 3.908 siswa kelas 3-5 di 16 sekolah yang ada di Jefferson County Public School District, Louisville, Kentucky. Dari penelitian ini, Chang dan Munoz menemukan bahwa project ini memberikan impact yang positif bagi para siswa. Para siswa yang menjalani project CARE lebih menunjukkan sifat kemandirian dan berpengaruh di kelas serta lebih menunjukkan social support kepada rekan-rekan di kelasnya.
Pada akhirnya, pendidikan karakter tidak hanya bisa dipahami sebagai suatu proses yang instan, hanya dengan beberapa pertemuan di sekolah maka sang anak akan memiliki karakter yang baik. Dibutuhkan waktu, tenaga, dan banyak hal lainnya yang saling mendukung untuk membentuk dan mengembangkan tatanan karakter yang baik agar tercipta sebuah generasi yang memiliki pola pikir dan pandangan yang luas dan bijaksana sehingga melahirkan generasi berbudi pekerti luhur serta mampu mengendalikan emosi dengan baik agar tercipta karakter yang kuat bagi individu tersebut.




Referensi :

Koesoema, D.A. (2007). Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: PT. Grasindo.

Chang, F. & Munoz, M. (2006): School personnel educating the whole child: impact of character education on teacher’s self assessment and student development. Journal of Personnel Evaluation in Education, 19, 35-49.

Lickona, T. dalam Fajri, M. (2012). Hakikat Pendidikan Karakter. Diambil dari http://vhajrie27.wordpress.com/2012/02/13/hakikat-pendidikan-karakter/ Diakses pada Rabu, 3 Oktober 2012 pukul 08.33.

Suyanto. (2009). Urgensi Pendidikan Karakter. Diambil dari http://www.mandikdasmen.depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html Diakses pada Rabu, 3 Oktober 2012 pukul 08.07