Di era globalisasi ini, ilmu dan
pengetahuan telah berkembang dengan pesat. Salah satu hasil dari perkembangan
ilmu pengetahuan adalah media massa.
Media massa, baik yang cetak maupun elektronik, telah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan manusia, khususnya sebagai sumber informasi. Dalam
perkembangannya tersebut, media massa juga bersinggungan dengan isu-isu dalam
masyarakat, salah satunya adalah stereotip.
Stereotip
adalah kerangka kognitif yang berisi pengetahuan dan belief tentang kelompok sosial tertentu dan dilihat sebagai tipikal
yang dimiliki oleh anggota kelompok tersebut (Prawasti, 2009). Nelson (2002) juga mengemukakan bahwa
stereotip adalah kepercayaan seseorang
bahwa karakteristik tertentu diasosiasikan dengan kelompok tertentu.
Dari usia dini,
anak-anak telah dihadapkan dengan stereotip. Ketika para orang tua
menginternalisasi anak-anaknya dengan nilai dan norma masyarakat, anak-anak
juga menaruh perhatian kepada pesan yang tersirat dan tersurat mengenai
hubungan antar kelompok yang mereka dapat dari film, televisi, majalah, video games, dan jenis media lainnya
(Nelson, 2002).
Berangkat
dari hal ini, saya berargumen bahwa media dapat menyebabkan timbulnya stereotip
mengenai suatu kelompok sosial tertentu. Untuk mendukung argumen saya, saya memfokuskan
bahasan saya dalam dua poin, yaitu mengenai pengaruh media dan stereotip.
Selain itu, dalam tulisan ini juga akan disertakan bukti-bukti penelitian dan
hasil dari studi literatur yang saya lakukan. Namun karena satu keterbatasan,
ada satu poin penting yang tidak dapat saya jelaskan, yaitu bagaimana stereotip
tersebut mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku terhadap kelompok sosial
tertentu.
Berbicara
mengenai stereotip tentunya tidak lepas dari kategorisasi sosial. Menurut
Prawasti (2009), dalam kategorisasi sosial, orang melihat orang lain sebagai bagian
dari kelompoknya (maka akan disebut sebagai ingroup-nya)
atau sebagai anggota dari kelompok lain (akan disebut sebagai outgroup-nya). Beliau juga menambahkan
bahwa pembedaan in-group dan out-group juga berpengaruh dalam
atribusi, yaitu pada bagaimana mereka menjelaskan perilaku pada dua kelompok
yang berbeda ini. Menurut saya, kategorisasi sosial ini menjadi dasar dalam
stereotip dimana sudah terbentuk pembeda dalam masyarakat dengan
karakteristiknya masing-masing.
Media
massa, termasuk didalamnya film, komik, televisi, dan iklan dipenuhi dengan
stereotip (Whitley & Kitte, 2010). Stereotip tersebut bisa mengarah pada
kelompok agama atau bangsa tertentu. Penelitian yang dilakukan oleh Shaheen
(2003, dalam Whitley & Kitte, 2010)
terhadap lebih dari 900 film Hollywood menemukan bahwa orang Arab secara
konstan digambarkan sebagai orang yang tidak punya hati, brutal, tidak beradab,
dan fanatik terhadap agama. Film-film tersebut juga menyampaikan pesan yang
tidak tepat bahwa semua orang Arab adalah orang Muslim dan semua orang Muslim
adalah orang Arab.
Stereotip yang muncul
bisa juga mengarah kepada segi gender. Kim dan Lowry (2005) mengadakan
penelitian untuk menganalisa representasi peran dari suatu gender dalam iklan televisi Korea. Penelitian ini
dilakukan dengan metode content analysis
dan mengambil sampel 878 iklan televisi Korea di MBC Network yang ditayangkan pada tahun 2001. Mereka menemukan 3
poin penting dalam penelitian ini. Pertama, bahwa perempuan yang bermain dalam
iklan tersebut masih muda dan belum menikah. Jika mereka sudah menikah, maka
akan mendapat peran mengerjakan pekerjaan rumah tangga sedangkan bagi pria akan
mendapatkan peran yang berkaitan dengan bisnis. Kedua, model pria lebih
diberikan peran untuk mempersuasi penonton agar membeli produk yang diiklankan.
Sebaliknya, perempuan ditempatkan di belakang model utama pria ketika sedang
mempersuasi penonton. Ketiga, model perempuan memang didapati lebih sering
muncul daripada model pria. Namun, ketika harus mengajak penonton untuk membeli
produk dengan kekuasaan yang dia punya, model pria akan lebih diutamakan
muncul. Dari sini terlihat jelas bahwa iklan mengdiskreditkan peran dari wanita
dan menimbulkan stereotip bahwa laki-laki lebih kompeten daripada perempuan.
Lalu, ada juga
penelitian yang dilakukan oleh Al-Shehab (2008). Beliau melakukan content analysis di program televisi yang dibuat untuk anak-anak
dan juga program televisi yang melibatkan anak-anak di dua saluran televisi,
yaitu saluran televisi Kuwait dan saluran satelit televisi Mesir. Tujuannya
adalah untuk menentukan efek dari program tersebut terhadap gender,
representasi, dan stereotip. Salah satu penemuan dalam penelitian ini adalah saluran
televisi Kuwait lebih menampilkan karakter pria. yang tidak berkulit putih, dan
bukan orang Arab. Sedangkan saluran televisi Mesir lebih banyak menampilkan
perempuan, orang kulit putih, dan orang Arab. Rasio antara orang kulit putih
dan non-kulit putih serta antara orang Arab dan non-Arab di kedua saluran
televisi tersebut menggambarkan bahwa saluran televisi Mesir lebih menyajikan
model stereotip dan tradisional (Al-Shehab, 2008)
Representasi
orang-orang dalam media massa telah bersifat negatif (Taylor & Stern, 1997
dalam Kim & Lorwy, 2005). Iklan yang ditayangkan di televisi juga menggambarkan
stereotip mengenai kelompok sosial tertentu, salah satunya antara masyarakat kulit putih
dan kulit hitam serta ras. Orang kulit putih ditampilkan lebih sering daripada
kelompok etnik lainnya dan mereka juga digambarkan secara lebih menonjol
(Whitley & Kitte, 2010). Coltrane & Mesineo (2000, dalam Whitley &
Kitte, 2010) juga menemukan dalam penelitiannya bahwa orang kulit putih lebih
banyak mendapatkan peran orang tua atau suami-istri dalam iklan, dimana orang
Asia-Amerika lebih banyak ditunjukkan
perannya sebagai anak-anak. Lalu, laki-laki Afrika- Amerika lebih digambarkan
dengan peran agresif daripada orang kulit putih. Sebaliknya, orang Latin lebih tidak
terlihat dalam iklan. Disini saya melihat bagaimana presentasi suatu ras yang
tidak berimbang dalam iklan di televisi. Semakin sedikit kemunculan suatu
kelompok di media, maka semakin besar kemungkinan hal tersebut dikarenakan
stereotip (Giles, 2003).
Sayangnya,
memang kita tidak bisa mengeneralisasi pengaruh
media tersebut dari data-data penelitian korelasional yang ada bahwa
televisi menyebabkan munculnya stereotip. Hal ini dikarenakan data korelasi
tersebut tidak kuat dan konsisten dalam segala kasus (Durkin, 1985b; Gunter
& McAleer, 1990 dalam Schneider, 2004). Salah satu contohnya adalah sebuah
studi komprehensif mengenai gender (Morgan, 1982 dalam Schneider, 2004). Selama 3 tahun, dilakukan
pengukuran terhadap perilaku menonton TV dan stereotip gender pada anak
laki-laki dan perempuan SMP. Secara
umum, untuk anak laki-laki dan perempuan, hubungan antara menonton TV dan
stereotip tersebut terbilang sederhana atau rendah (.34) sehingga melahirkan penjelasan
alternatif bahwa sikap (attitude) mempengaruhi
perilaku menonton.
Memang
ada juga pendapat bahwa media kurang memiliki efek langsung dalam timbulnya
stereotip. Tetapi, efek tidak langsung dari media bisa saja sangat kuat. Karena
TV adalah sebuah sarana sosialisasi pasif, dan mungkin memiliki efek paling
besar dalam memberi reinforcement
daripada menentang kebenaran budaya (Schneider, 2004).
Walau
pendapat diatas ada, tapi nampaknya berkebalikan dengan yang terjadi di
lapangan. Baru-baru ini masyarakat dihebohkan dengan pemberitaan miring mengenai
kegiatan ekstrakurikuler Kerohanian Islam (Rohis). Stasiun Metro TV mengabarkan
berita bahwa ekstrakurikuler Rohis ini menjadi pintu masuk teroris. Dalam tayangan beritanya tentang
“Pola Rekrutmen Teroris Muda”, Metro TV menyampaikan lima poin tentang pola
perekrutan tersebut, yakni :
- Sasarannya siswa SMP Akhir –
SMA dari sekolah-sekolah umum
- Masuk melalui program
ekstrakurikuler di masjid-masjid sekolah
- Siswa-siswi yang terlihat
tertarik kemudia diajak diskusi di luar sekolah
- Dijejali berbagai kondisi
sosial yang buruk, penguasa yang korup, keadilan tidak seimbang
- Dijejali dengan doktrin bahwa
penguasa adalah toghut/kafir/musuh
Kerohanian Islam adalah
organisasi ekstrakurikuler di sekolah yang memfasilitasi siswa untuk mendalami
agama Islam dengan berbagai variasi kegiatannya. Mulai dari pengajian umum,
mentoring, pelatihan keterampilan, pergelaran seni Islam, membuat berbagai
Musabaqah (perlombaan) tentang Al-Qur’an, bimbingan baca tulis Al-Qur’an,
kelompok belajar, berkemah sambil bertadabbur alam, mabit (malam bina iman dan
taqwa) dengan iktikaf di masjid, kegiatan olahraga dan masih banyak lagiSontak
masyarakat Indonesia kaget dengan pemberitaan ini, khususnya para umat Muslim
dan juga para alumninya (Syahputra, 2012).
Sontak masyarakat kaget dengan berita ini. Rohis yang
identik dengan kegiatan-kegiatannya yang positif dalam mengembangkan moral
spiritual siswa, diberitakan sebagai sarang teroris. Pemberitaan ini dapat
berpotensi menimbulkan stereotip di masyarakat bahwa ekstrakurikuler Rohis
merupakan tempat menghasilkan teroris. Hal ini dapat berpotensi memunculkan
stereotip bahwa orang Muslim adalah teroris. Disinilah letak pengaruh media
terlihat jelas dapat menimbulkan stereotip kepada kelompok masyarakat tertentu,
dalam hal ini orang Muslim.
Kesimpulan dari poin-poin yang telah dijabarkan diatas
adalah media memiliki peran yang signifikan dalam menimbulkan stereotip
mengenai suatu kelompok masyarakat tertentu. Stereotip ini bisa dipicu dari
film, iklan, majalah, video games,
dll. Stereotip yang muncul juga mengarah kepada kepada hal-hal sensitif dalam
masyarakat, seperti jenis kelamin, ras, warna kulit, golongan agama, dsb. Saya
telah memberikan bukti-bukti penelitian, hasil studi literatur, dan contoh
nyata yang mendukung argumen saya bahwa stereotip mengenai suatu kelompok
masyarakat tertentu bisa ditimbulkan dari pemberitaan media.
Televisi baik dalam menyajikan potongan-potongan realita,
tetapi kurang baik dalam menyajikan kompleksitas secara menyeluruh (Schneider,
2004). Dan sayangnya juga, sangat mudah melihat bagaimana bias yang sangat
nyata dalam media dapat menghidupkan terus-menerus stereotip terhadap satu
kelompok ras tertentu (Nelson, 2002) .
Referensi :
Giles, D. (2003). Media Psychology. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Kim, K. & Lowry, D.T. (2005). Television commercial as a lagging social indicator: gender role stereotype in korean television advertising. Sex Roles, 53, 901-910.
Nelson, T.D. (2002). The Psychology of Prejudice. Boston : Allyn and Bacon.
Prawasti, C.Y. (2009). Stereotip, prasangka, dan diskriminasi. Dalam Sarwono & Meinarno (Eds.), Psikologi Sosial. (pp. 226-227). Jakarta: Salemba Humanika.
Schneider, D.J. (2004). The Psychology of Stereotyping. New York: The Guilford Press.
Al-Shehab, A.J. (2008). Gender and racial representation in children’s television programming in kuwait: implications for education. Social Behavior and Personality, 36, 49-64.
Syahputra, A.R. (2012, September 15). Rohis dan fitnah busuk metro tv. Diambil dari http://politik.kompasiana.com/2012/09/15/rohis-dan-fitnah-busuk-metro-tv/